Tak ingin semua yang kulakukan hari ini akan hilang dan berlalu begitu saja. . . . . . .
Hariku tidak akan terulang dan tidaklah pernah sama, jam dan detikpun akan setia mengikutinya. Hampir tiap paginya kusering dibangunkan oleh adzan yang dikumandangkan oleh seorang pria paruh baya yang pintu rumahnya berjarak empat meter dari sudut terdekat pekarangan rumahku. Warga di komplekku memandang beliau sebagai sosok yang pendiam. Tapi tak jadi masalah bagiku dibanding dengan jasa dan pengorbanannya untuk mengurus mesjid yang peletakan batu pertamanya sekitar tiga tahun lalu itu. Lain halnya dengan Seorang ibu yang menurutku selalu bahagia dalam menjalani hari-harinya juga menyempatkan pesona senyumannya terhadap semua orang yang dilihatnya, termasuk aku. Bagaimana tidak? Setiap pagi menyongsong dan setiap kali kumenyondongkan kepala ke arah timur selasar rumah kuselalu disambut dengan senyumannya yang berlanjut dengan gurau kisah jaman dulu. Sambil sedikit olahraga dan merenggangkan otot tubuh, senantiasa pula kudengarkan dan sesekali kutertawa kecil dengan candanya. Namun terkadang dengan sedikit keterpaksaan kuberikan senyumanku yang banyak orang bilang sangatlah ‘manis’ kepada ibu semampai itu hanya untuk menghargai guraunya saat itu; karena dari hari-hari sebelumnya sudah berulang dan berulang lagi pada hari berikutnya. Kesederhanaan dan keramahtamaannya membuatku terkesan dan sedikit prihatin sejak ditinggalkan oleh suaminya yang telah bertahun-tahun dilewatinya bersama.
Terlewat dari simanusia ramah dan sipendiam, kicauan burung di awal fajar membuatku sejenak terpaku dan berpikir seakan burung-burung itu memberitahu bahwa mereka adalah jelmaan orang-orang yang sering kumimpikan dalam tidur, dalam dunia digitalku atau fantasi semata. Sambil kulihat selfphone-ku . . . . . “one new message” dan “4 missed call”
“””””asslm. Brow, nda msukK sben kulia perancangan nah. Nitip absenkan. Ok cha’…..””””””
Kurang lebihlah seperti itu bunyinya. Kujuga masih ragu mau ke kampus merah tidak ini hari, tapi dengan berbagai alasan yah dengan penglihatan yang agak buram perlahan kuberjalan ke kamar mandi. Setelah mensucikan diri dan mengahadap kepadaNya, kembali kumerebah di atas sajadah abu-abuku sambil bermalas-malasan setelah kulihat jam selfphone-ku masih memberikan waktu yang luang; kira-kira 70 menit lagi kusudah harus berada dalam ruangan kelas dengan 4 buah kipas angin di langit-langit ruangan, duduk tenang di hadapan meja gambar yang dengan jelas terpampang kertas A3 yang masih kosong pula.
Kulihat my momzt di tempat teratas dengan 3 missed call disusul oleh ‘yang namanya belum ada’ sebagai runner up dalam daftar panggilan tak terjawabku. Seperti biasa di tiap paginya meski tidak tinggal dalam satu atap, bunda tersayang selalu membangunkanku agar tak telat masuk kampus terlebih dalam hal shalat subuh. Wajarlah seorang ibu pastinya menginginkan hal yang terbaik buat darah dagingnya sendiri. Terlewat dari semua itu, posisi runner up tadinya adalah orang yang memang dengan sengaja kutitipkan kepercayaan untuk membuka mataku di awal fajar. Maksudku seorang yang berasal dari kaum Hawa yang “namanya belum ada’’. Suatu waktu, kuberharap sosok itu tidak lagi membangunkanku via sms atau digital melainkan langsung dengan nafasnya.
Beberapa jedah setelah itu, anggaplah setelah mandi dan membersihkan badan dari sisa-sisa kapuk kasurku yang dibersihkan seminggu sekali; dengan telanjang dada kumenuju ke sebuah benda massif dan diperhadapkan oleh tumpukan pakaian yang entah berantah. Kuambil kain berkombinasi gelap untuk menutupi kulit tubuhku yang putih. Menurutku hidup ini tidak butuh berpakaian mewah untuk mendapatkan teman banyak; tidak perlu hebat untuk berbuat tapi berbuatlah untuk menjadi hebat; tidak butuh uang banyak untuk memenuhi kebutuhan puncak manusia dalam piramida yang kata Abraham Maslow adalah aktualisasi diri; hanya butuh waktu dan tempat buatku belajar dan mengenal segala sesuatunya. Perlahan kuberanjak dari tempatku, mengambil pakaian kotor dan menyimpannya di teras rumah yang sebentar lagi akan beralih fungsi menjadi binatu. Adalah ide bundaku untuk menyewa jasa orang lain membantu dalam hal membersihkan pakaian sehari-hariku. Meski sebenarnya tidak perlu menurutku ada hal-hal yang seperti itu; tak lain dan hanya agar aku berkonsentrasi untuk menyelesaikan strata satuku.
Selang beberapa waktu, kusudah siap ke kampus; memakai sepatu, mengunci pintu, dan mengembok pagar aluminium. Begitulah urutan aktivitas sesaat sebelum kumeninggalkan rumah. Dengan semangat yang tumbuh dari seorang anak yang ingin membahagiakan orang tuanya, akupun melaju di jalan dengan harapan yang harus kuraih. Dengan dua rodanya yang sudah hampir gundul itu, sepeda motor bernomor kendaraan 2525 HC setia mengantar kemanapun kupergi. Seperti biasa di kotaku, ratusan kendaraan dengan ribuan orang-orang di dalamnnya tiap jam sibuk harus melewati antrian yang luar biasa panjangnya. Belum lagi orang-orang yang memiliki kepentingan yang dengan sengaja tak memperhatikan rambu-rambu, melambung kiri kanan, marah sini marah sana, senggol depan belakang, hingga golongan orang-orang yang paling kubenci ketika membunyikan klakson kendaraannya tepat sesaat lampu jalan berwarna merah. Sungguh pemandangan yang lazim pada kota-kota metropolitan terkhususnya lagi di negaraku. Sudah kukatakan sebelumnya kalaulah aku adalah orang yang menghargai tiap detik dan hariku jadi kumanfaatkan momen ini dengan menjadikannya alasan ketika suatu saat kutelat masuk kelas, telat ikut meeting pada beberapa organisasi ku, bahkan kugunakan untuk mengelabui orang-orang yang memiliki kesepakatan dua pihak pada waktu dan tempat untuk bertemu yang kusebut dengan janji termasuk juga kepada dia ‘yang namanya belum ada’. Tidak jarang pula kuberbincang dan berkenalan dengan orang-orang sesama pengendara roda dua ketika menunggu Bapak berseragam rapi dengan beberapa isyarat tangan dan peluitnya mempersilahkan kendaraan yang paling depan untuk jalan.
Tiga puluh menit adalah waktu tempuh yang maksimal yang kugunakan dari rumah ke kampus. Termasuk berkenalan dengan orang-orang di jalan, membeli minuman entah itu teh ataupun susu dalam kemasan kotak serta sepotong roti kalau sempat. Sesampainya di kampus, kuparkir motor tidak jauh dari lokasi jurusan tempatku belajar menjadi seorang arsitek. Dengan santainya kuayunkan kaki masuk ke gedung, Berjalan dan kurang lebih dua puluh anak tangga putar terlewatkan menandakan beberapa langkah lagi kusampai di ruangan yang kan kutempati sampai pukul 16.00 nanti... Continued
No comments:
Post a Comment