OK

Sunday, March 24, 2013

Pasukan Cilik

         
      Peparkiran sebuah mega mall di pusat kota kita, Makassar; Rabu, 20 Maret tahun yang sama. pukul 18.05 waktu #kelasInspirasiMks. Hembusan angin tidak terlalu kencang, disertai titik rintik hujan yang cukup membasahi tersamarkan oleh lantunan rumah-rumah Tuhan yang bergema dari empat arah mata angin yang berbeda. Dari tempat berpijak bumi pertiwi tanpa ujung, mata saya memandang jauh ke depan pagar-pagar beton yang masif. Lampu temaram, ribuan hiruk pikuk, kemacetan, sedikit percikan dari genangan air, pedagang kaki lima di tiap gangnya, anak-anak berumur jagung menuntut hidup di perempatan; bukan lagi pemandangan yang asing di kota metro. Khalayak orang banyak, merasa nyaman; sebut saja acuh, masa bodoh dengan suasana seperti itu. Sedikit lebih jauh dari mata hati saya, terngiang bahkan kadang merengek bisu; sebuah kejanggalan yang tidak bisa diterima oleh logika orang bijak, sehat hati dan pikiran. Namun apa yang bisa saya lakukan saat ini tidak lebih dari mengaminkan doa dan harapan yang belum terijabat.


        Namanya Syafruddin, usia empat tahun. Penampilan yang lusuh tanpa alas kaki, lipatan-lipatan pakaiannya jelas, acak saling menyilang; sesekali diselingi dengan sobekan. Air hujan tampak terjun bebas menjelajahi tiap sudut arinya. perlahan mendekati, sembari menjulurkan tangan; diam tanpa kata. Terkesima jelas, prihatin pastinya. Hal pertama yang sibuk menari di benak saya, “siapa gerangan orangtua anak ini?” Segera saya lontarkan beberapa kata. Keseharian ibunya melakukan perjalanan mulia, lewat kaki, beratapkan langit, desiran angin dan terik mentari. Dengan upah yang tidak seberapa, mencuci pakaian kotor dari rumah ke rumah. Demikian sang ayah, mengais hikmah hidup dengan menarik becak motor; pada kenyataannya belum jua memberikan kehidupan yang layak untuk si anak pemilik wajah pasi itu. Sejenak, kali ini saya benar-benar memberi kesempatan separuh jiwa terbang tinggi, kian jauh meninggalkan saya. Setengahnya lagi tetap di tempat itu menemani anak pemimpin negeri kelak. Tempat Syafruddin dan pasukan cilik lainnya bukan di jalan; bukan di perempatan; bukan di sudut gang ataupun di kolong jalan layang. Tidak semestinya mereka berada di sana, seharusnya mereka berada di rumah. Memeluk hangat di ruang tengah bersama keluarga, ayah ibu, saudara membicarakan tentang cinta, asa dan cita-cita. Duduk menyelesaikan tugas; sembari menulis, membaca, lalu menghitung. Bercakap sendu, beradu rindu, menyebutkan harapan lalu mengakhiri dengan usapan di wajah. Berbaring di bawah beribu bintang, berselimut tebal, berlari menuju sejuta mimpi anak negeri. 
       Saya dan Syafruddin. Batas senja dan malam hampir usai. Kami sepakat berpisah di tempat itu. Matanya terang, air mukanya cerah, berbinar-binar ia meluapkan senyum. Terima kasih, kami mengucapkan nyaris bersamaan. Haturnya lewat lisan, gumam saya dalam hati. Sejak perjumpaan itu, kami berjanji akan mengejar apa yang seharusnya kami dapatkan. Lalu kembali bertemu di lain tempat dengan orang-orang yang berbeda pula.



      dan teman-teman  . Harapan, doa, aksi yang teman-teman lakukan tak tergambarkan hanya dengan 140 karakter. HEBAT

No comments:

Post a Comment