Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.
Minggu pertama bulan keempat dari dua belas bulan dalam setahun ternyata masih menyisakan hujan untuk kota kita. Menjelang tiga puluh menit lagi jam lima sore, hari mulai gelap; benar-benar gelap oleh arak-arakan awan yang sebentar lagi menumpahkan satu dua dan beribu titik hujan. Mereka itu rindu, demikianlah saya menyebutnya (yaelah, melowdrama gitu, maklumlah saya banyak baca fiksi dibanding literatur jurusan perkuliahan sendiri. Buat para wanita jangan kuatir, saya tetap cakep kok)
Jalan penuh sesak, jam lima sore dihari kerja sepertinya menjadi momok menakutkan. Macet sudah pasti, asap dan debu jalan; belum lagi orang-orang dalam keadaan letih sepulang dari bekerja. Di kehidupan yang lain, lamban tapi pasti dengan gagahnya saya memberi kesempatan kaki kiri untuk menaiki pete-pete; sebutan untuk angkutan umum antarkota di kota saya, selang beberapa masa barulah kaki berikutnya ikut melangkah. Kurang semenit, saya dan kampus merah; kami berjarak, hilang dari pandangan saya perlahan.
Sudut kiri belakang Pak Sopir adalah tempat favorit saya untuk duduk. Meski untuk mencapainya perlu sedikit lebih tangguh melewati beberapa lutut terlipat orang dewasa. Dengan mengesampingkan suasana sesak, berdesakan dan pengap; pete-pete dengan jumlah penumpang paling banyak masuk dalam daftar teratas prioritas, angkutan ini akan berhenti hanya jika penumpang lain sudah sampai di tujuan, bukannya nangkring berlama-lama sembari menunggu penumpang lainnya; dengan demikian perjalanan saya lancar dan aman-aman saja, semoga. (hehe, ditabok Daeng Supet)
Seperti biasa, suasana tetaplah sesak. Untung saja tempat saya di bumi berotasi sudah agak melebar dari sembilan puluh derajat sudut jatuh matahari.
Berdentang riang suara musik beberapa band lokal kenamaan yang kebanyakan orang menyukainya kecuali saya. Cara ampuh yaitu dengan menggunakan perangkat earphone, yah meski sebenarnya sebentar lagi saya akan memasang headset tanpa suara selain suara bass pete-pete yang kian memekik. Ponsel saya tidak lagi cerdas, mendadak lemah baterai, mati total. Peraturan pertama kawan, jika seorang wanita berwajah manis duduk di depanmu, jangan sekali-sekali bertindak bodoh. Saya pun sesekali menggeleng, mengangguk seolah mengikuti irama musik yang nyatanya tidak nyata. Rupanya lumayan, berkaca mata lebar, rambut cepak sebahu, memangku beberapa buku, ensiklopedia dan map transparan berisikan tiga empat helai kertas dan sebuah kitab hijau bertuliskan Sobotta. Tanpa berpikir panjang, dan semoga saya tidak sok tau, si gadis pemilik wajah pasih ini adalah calon dokter. Poin 8.49 saya berikan dari 10 atas keramahtamahan plus wanita selalu terlihat lebih cantik di musim penghujan hemat saya.
Terpujilah, senyumannya tidak semahal dengan tumpukan buku-buku tebal yang ia timang. Peraturan kedua dan itu pasti adalah; jika satu senyum pertama dengan mudah kalian dapatkan, artinya sinyal kuat, respon bagus (ini bukan promosi provider yah) maka sedikit banyak seseorang telah terpanah dan segera membuka pintu hati buat kalian. “YES!” pekik saya girang dalam hati serasa memenangkan lotre 2 M dan dua pasang tiket nonton Arsenal live dari Emirates (yah yang pengen couple date mention saya di @adyayat).
Peraturan tiga, buat ia penasaran, ini adalah hal yang paling penting. Setelah ini Anda bisa saja mengklasifikasi apakah target benar-benar tertarik atau tidak. Nah, bak anak musang yang kelaparan; tak kehabisan ide, saya pun merogoh sesuatu di dalam tas. (tas saya multifungsi loh, kadang menjadi kapal pecah, pasar tradisonal, dapur umum bahkan westafel darurat) Berharap menemukan sesuatu yang sifatnya konduktor, dengan cepat menghantar elektron-elektron kekaguman. Beberapa novel karya Tere Liye, Habiburrahman, dan Suzanne Collins sepertinya kurang gregetan. Akhirnya pilihan saya jatuh kepada buku yang tak kalah tebalnya, Data Arsitek, Neufert. ini sudah oke, biar bisa terlihat lebih intelektual. Sesekali Pak Sopir ngerem mendadak ditambah dengan kondisi jalan yang agak berlubang jelas sudah tidak memungkinkan bagi saya untuk mengamati beberapa rangka bangunan lengkap dengan angka dan keterangan-keterangan kecilnya. Lagian siapa pula yang bener-bener membaca.
Pertigaan Adipura, jika dilihat dari arah selatan kota kita, tugu ini tidak benar-benar simetris meski letaknya tepat membagi tiga ruas jalan sama besarnya. Bagian atas tugu sepertinya berat ke sebelah kiri deh, entah memang sengaja dibuat demikian atau human error. Ah sudahlah, hujan pun turun, semakin lama semakin memperbanyak porsi titik airnya. Jalan seketika lengang, beberapa pengguna roda dua agak meminggirkan kendaraan mereka ke tempat yang teduh. Beda dengan saya, sedari tadi sebelum hujan pun sudah teduh gegara wanita satu ini. Pete-pete menikuk tajam. Stay cool, tidak menggoyahkan semangat saya. “kiri, kiri pak!” sapa wanita ini. Suaranya masih senada dengan parasnya. Segera sopir menepikan pete-pete, memastikan keselamatan penumpang yang sebentar lagi turun. “tapi kan di luar masih hujan deras!” teriak saya dalam hati. Perlu beberapa karung keberanian, sementara ribuan syaraf-syaraf sensorik menerjemahkan ke otak, sebentar lagi segera saya mengucapkannya, eh tiba-tiba seorang pria dewasa nan mapan membawa payung mendekati pete-pete. Panggilan mesra mencuat dari bibir mereka meyapa manis satu sama lain. Si wanita calon pujaan hati saya raib dibawa kabur.
Pembaca yang budiman, peraturan terakhir. Tak ada hal yang pasti di dunia ini, termasuk rundown trik di atas. Tapi coba saja gak papa meski sejauh ini belum ada sih yang berhasil. Sesuaikan dengan suasana hati sajalah.
hahaha...lain kali bawa payung anto, supaya tidak jadi penonton terus...wkwkwk
ReplyDeletehaha... benar, sedia payung sebelum hujan...
ReplyDeletehahaha... parah kau brooo...
ReplyDeletehihi.. keep calm & stay cool brohh
ReplyDelete