OK

Tuesday, June 18, 2013

Kusebut Ia Ayah

Pria yang memiliki wajah mirip denganku, kata-kata dalam kamus seakan-akan habis jika Ia berbicara. Di luar sana, begitulah orang-orang menilai manusia yang kusebut ayah ini. Namun sebenarnya tidak, mereka hanya saja belum terlalu mengenalnya. Seperti kebanyakan, Ayah saya ini pemalu terlebih kepada orang yang baru dikenalnya.

Jauh dalam dirinya, ialah sosok ayah yang sukses sebagai ayah, sahabat, sekaligus teman sepermainan bagi anak-anaknya. Memberi wejangan ringan namun berkesan, selalu hadir sebagai oposisi berbungkus canda dalam perbincangan serius keluarga, menempatkan sesuatu pada tempat dan waktu yang tepat; Manusia yang sampai kapanpun tetap menjadi panutan bagi saya.

Orangtua yang otoriter, jelas bukan tipenya. Ayah memberi kekebasan bagi saya, anak yang mulai beranjak dewasa dulu; kebebasan dalam arti saya boleh melakukan apa saja, asalkan masih dalam koridor kewajaran. Etika, moral, beragama jelas menjadi bagian di dalamnya. Tak ada jam malam, apalagi batasan-batasan lainnya yang menurut anak lainnya sebagai bentuk pengekangan. Sebagai anak yang baik, menjaga kepecayaan itu wajib. Meski bisa dibayangkan betapa khawatirnya ketika hampir tengah malam, batang hidung anaknya belum juga muncul. Ayah masih yang terhebat pokoknya.

Entah bersin, batuk, bersendawa, bercanda, berbincang santai suara ayah selalu terdengar lantang bak sedang marah. Emang sih, kebanyakan orang segan karena alasan yang satu ini. Saban hari, ponakanku yang belum cukup setahun itu menangis keras setelah mendengar ayah yang sedang asyiknya bernyanyi-nyanyi ringan. Hihi, bukan kali ini saja saya dibuatnya berkata “ada-ada saja, Yah!”

Banyak, masih banyak lagi tentang saya dan ayah. Barisan-barisan kalimat di atas tidaklah cukup mewakilkan betapa hebatnya ia. Begitulah, anakmu sedang merindu. Kini rindu itu dikemas dalam tulisan sebelum tidur. Yah, tepatnya malam ini menuju pembaringan rindu.



Selamat Hari Ayah
 

No comments:

Post a Comment