Pria yang memiliki wajah
mirip denganku, kata-kata dalam kamus seakan-akan habis jika Ia berbicara. Di
luar sana, begitulah orang-orang menilai manusia yang kusebut ayah ini. Namun sebenarnya
tidak, mereka hanya saja belum terlalu mengenalnya. Seperti kebanyakan, Ayah
saya ini pemalu terlebih kepada orang yang baru dikenalnya.
Jauh dalam dirinya, ialah sosok ayah
yang sukses sebagai ayah, sahabat, sekaligus teman sepermainan bagi
anak-anaknya. Memberi wejangan ringan namun berkesan, selalu hadir sebagai
oposisi berbungkus canda dalam perbincangan serius keluarga, menempatkan
sesuatu pada tempat dan waktu yang tepat; Manusia yang sampai kapanpun tetap
menjadi panutan bagi saya.
Orangtua yang otoriter, jelas bukan
tipenya. Ayah memberi kekebasan bagi saya, anak yang mulai beranjak dewasa
dulu; kebebasan dalam arti saya boleh melakukan apa saja, asalkan masih dalam
koridor kewajaran. Etika, moral, beragama jelas menjadi bagian di dalamnya. Tak
ada jam malam, apalagi batasan-batasan lainnya yang menurut anak lainnya
sebagai bentuk pengekangan. Sebagai anak yang baik, menjaga kepecayaan itu
wajib. Meski bisa dibayangkan betapa khawatirnya ketika hampir tengah malam,
batang hidung anaknya belum juga muncul. Ayah masih yang terhebat pokoknya.
Entah bersin, batuk, bersendawa, bercanda,
berbincang santai suara ayah selalu terdengar lantang bak sedang marah. Emang
sih, kebanyakan orang segan karena alasan yang satu ini. Saban hari, ponakanku
yang belum cukup setahun itu menangis keras setelah mendengar ayah yang sedang
asyiknya bernyanyi-nyanyi ringan. Hihi, bukan kali ini saja saya dibuatnya
berkata “ada-ada saja, Yah!”
Banyak, masih banyak lagi tentang
saya dan ayah. Barisan-barisan kalimat di atas tidaklah cukup mewakilkan betapa
hebatnya ia. Begitulah, anakmu sedang merindu. Kini rindu itu dikemas dalam
tulisan sebelum tidur. Yah, tepatnya malam ini menuju pembaringan rindu.
Selamat Hari Ayah
No comments:
Post a Comment