Di luar sana sementara
turun hujan, samar-samar di antara riuh cerita bahagia dan haru seorang kerabat
dan toga barunya. Saya dan beberapa teman duduk mengotak, meja dengan morfologi
yang serupa berada di tengah-tengah. Di atasnya telah berdiri sekotak kuning tissue, sebotol garam, dan kotak angka
penunjuk urutan meja.
Perlahan namun
mantap, aku hatamkan sepiring nasi dan ayam bakar di hadapanku; sesekali
kuselingi dengan memulai dan menambah
percakapan seadanya saja di tengah perut-perut yang memaki, meminta setoran.
Hujan reda, saya pun
lega. Begitu pula teman-teman yang telah menyelesaiakan ritual
kunyah-mengunyah. Sambil menyelam minum air, selain menghadiri hajatan,
menjalin dan membina hubungan baik adalah hal yang wajib dilakukan bagiku dan rekan-rekan
yang dipertemukan dalam satu kegiatan yang positif. Dari canda, terbitlah
serangakaian tutur baik dan ingin mulia. Setidaknya pembicaraan pun berlanjut
sampai lingkaran arloji di lengan kananku menunjukkan pukul 09.35 waktu
Indonesia bagian tengah.
Berkali-kali deru
dan getar ponsel di saku celana, kali ketiga mengharuskan aku merogoh dan
menjawabnya. Mamah, tertera
memanggil.
“Assalamualaikum, iye kenapaki’!”
“Wassalam, Yat, Kapanko pulang, sudah jam
berapami ini, mau hujan!” balas Mamah
“iye, bentar lagi, ini sudah maumi jalan!” timpalku, padahal posisiku masih hangat duduk
di kursi. Hihi, sering kulalakukan trik
demikian untuk meredam khawatir Mamah.
Maklumlah, long weekend ini digunakan Mamah untuk berkujung ke kota di mana
anak-anaknya menimba ilmu dan belajar hidup. Wajar jika jam malam cukup ketat.
Kuberi waktu jedah
bagi teman-teman untuk mengakhiri perbicangan, semakin lama semakin sering
menguap; karena kekenyangan, mungkin. Selang waktu, pun sepakat untuk menuju
rumah masing-masing.
Sesampai di rumah.
Mamah membukakan
pintu, mempersilakan aku masuk. Sambil membuka sepatu, sembari pula mamah
menggerutu.
“dari tadima mau
tidur, tapi kutungguko, pigi makan nah. Ada nasi sama teh dingin itu di meja”
“siap puang!”
kubalas santai, ringan tapi tertata, krama.
Sebelum kuantar
mamah ke kamarnya, sedikit waktu yang kami butuhkan untuk menghadirkan suasana
bahagia. Kutanya seputar kegiatannya sedari tadi, lalu mamah balik bertanya
seputar kabarku yang meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Sesekaii kurangkul,
dan bercanda kekinian masalah jodoh dan mantunya kelak.
Benar dugaku,
terpajang rapih beberapa gelas dan piring saling beradu apik. Sebuah gelas
berisi air yang ditutupi piring kaca yang telungkup. Segelas teh manis dan
sepiring nasi putih dengan sengaja diangin-anginkan sejak dua puluh menit lalu
sebelum aku tiba di rumah. Adalah menu favoritku menyantap keduanya dengan
kondisi yang dingin. Di sekeliling terdapat banyak pilihan menu, ada ikan bandeng
goreng agak hitam karena asam, ikan bakar mujair dengan bekas cubitan kecil
yang hati-hati, dan dua pilihan sambal dengan rasa dan cita yang berbeda. Sedikit
haru melihat hasil masakan mamah yang tak jemu dipandang, juga dirasa. Tak buang-buang
waktu, kumulai lagi ritual kunyah-mengunyah part dua malam ini.
Selang waktu,
setelah beres-beres; kuintip kamar mamah, beliau dan pasangannya tengah
terlelap bersahaja. Kuteruskan ke ruang sebelahnya, kamarku juga sudah rapih,
dibersihkan sama mamah pastinya.
Untuk mamah dan
masakannya, selalu ada persediaan lambung untuk menikmati segala jenis
masakannya.
Untukmu mamah,
seutuhnya, selalu ada ruang di hati sebagai orang nomor satu selalu dan
selamanya.
Selamat malam untuk
mamah-mama di belahan dunia lainnya, selamat jatuh kembali dalam peluk, dalam-dalam
jatuh yang nikmat; cinta.
What a romantic son u are, Kak! Your mamah must be proud of you ^^
ReplyDeletetulisan yg syahdu brai
ReplyDeletehihi...Terima kasih sdh berkunjung Ifa, juga Diki.
ReplyDeleteTulisan yang menyenangkan kak, romantis sekali 😊
ReplyDeleteTerimakasih Wi Dek...
ReplyDeleteEhmm...mamaku saja berkunjung ke mks jika ada perlunya (berbelanja).
ReplyDeleteDuh..duh..kece yat! Romantisx yayat..😁
ReplyDeletehihi. kak Ica trmkasih sdh jalan2 di blog...
ReplyDelete